Sabtu, 12 Oktober 2013

Pemerintahan islam pasca Nabi Muhammad SAW wafat



KEPEMIMPINAN UMAT ISLAM PASCA NABI MUHAMMAD SAW
A.    KONDISI MASYARAKAT SEPENINGGAL RASULULLAH SAW.
Dalam catatan sejarah diketahui bahwa muhammad SAW. Selain sebagai rasulullah,  juga seorang pemimpin pemerintahan dan pemimpin masyarakat. Setelah beliau wafat, fungsinya sebagai rasul tidak dapat digantikan atau dialihkan kepada orang lain.
Namun, sebagai kepala pemerintahan dan pemimpin masyarakat, posisi tersebut harus ada yang menggantikan. Oleh karena itu, pasca wafatnya rasulullah saw, terjadi kebingungan di kalangan masyarakat muslim ketika itu. Bahkan ada di antara mereka yang tidak percaya kalau Muhammad sebagai seorang  nabi utusan Allah, juga bisa wafat. Melihat gejala seperti ini, Abu Bakar mendatangi kelompok tersebut dan langsung berpidato. Dalam pidatonya ia mengatakan, “wahai manusia, siapa yang memuja muhammad, sesungguhnya muhammad telah wafat, tetapi siapa yang memuja allah, Allah hidup selama-lamanya, tidak akan pernah mati.”
Selain itu, dalam situasi seperti ini, muncul beberapa kelompok masyarakat muslim madinah yang tengah bermusyawarah guna menentukan siapa pengganti muhammad saw. Sebagai pemimpin pemerintahan dan pemimpin masyarakat.
Hasil dari perdebatan tersebut, munculah Abu Bakar Ash-Shiddiq sebagai pemimpin umat Islam. Kemudian dilanjutkan oleh sahabat Umar bin Khattab, Usman bin Affan,  Ali bin Abi Thalib. Ke empat para sahabat ini dalam Islam dikenal dengan sebutan Khulafaur Rasyidin, yakni para pemimpin pengganti yang mendapat petunjuk dari Allah swt. Meskipun hanya berlangsung selama lebih kurang 30 tahun, masa pemerintahan Khulafaur Rasyidin merupakan masa yang sangat penting dalam perjalanan sejarah umat islam.
B.     SISTEM PEMILIHAN KHALIFAH
Persoalan pertama yang muncul kepermukaan setelah Nabi Muhammad saw. Wafat, adalah persoalan suksesi. Siapa yang akan menggantikan kedudukan beliau sebagai kepala pemerintahan. Karena sebelum wafat beliau tidak pernah membicarakan atau menunjuk  siapa yang akan menjadi penggantinya kelak. Tetapi ada satu prinsip dasar yang diajarkan Nabi saw. Dalam bermasyarakat dan bernegara, yaitu musyawarah atau syura, prinsip musyawarah ini dianut oleh para sahabat, dibuktikan dari peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam setiap pergantian pemimpin islam, seperti Khulafaur Rasyidin.
Abu Bakar memangku jabatan khalifah berdasarkan piliahan yang berlangsung secara demokratis dalam pertemuan di tsaqifah (balairung) Bani Sa’idah. Tata cara tersebut sesuai dengan sistem perundingan yang di pergunakan pada zaman modern sekarang ini.
Perdebatan siapa yang paling berhak menggantikan kedudukan nabi Muhammad saw. Sebagai kepala pemerintahan, hampir menimbulkan konflik internal di kalangan umat Islam, antara Muhajirin Anshar dan Bani Abbas. Melalui perdebatan panjang dengan argumentasi masing-masing, akhirnya Abu Bakar disetujui secara aklamasi menduduki jabatan khalifah.
Selesai terpilih sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan, Abu Bakar berpidato sebentar menguraikan apa yang akan dilakukannya kelak. pidato tersebut menggambarkan kepribadian Abu Bakar dan kejujuran serta ketulusannya sebagai seorang pemimpin umat yang demokratis. Proses pengangkatan ini diawali dengan ijtihad Abu Bakar meminta Umar bin Khattab bersedia menggantikan kedudukannya kelak, jika ia meninggal dunia.
Permintaan ini pun di setujui oleh umar, hanya umar meminta agar persoalan ini dibicarakan terlebih dahulu di kalangan tokoh masyarakat, supaya tidak terjadi salah paham. Pilihan itu pun disetujui oleh pemuka masyarakat, kemudian Abu Bakar menulis surat wasiat untuk itu dan membai’at Umar bin Khattab. Beberapa hari kemudian Abu Bakar Ash-shiddiq meninggal  dunia peristiwa ini terjadi pada jumadil akhir tahun 13 H/634 M.
Sedang uman bin Affan dipilih dan diangkat oleh dewan yang terdiri dari enam orang sahabat. Seperti ditegaskan pada bagian terdahulu bahwa proses pemilihan khalifah setelah Umar bin Khattab berbeda dengan proses sesudahnya. Pasca Khalifah Umar bin Khattab, pemilihan dilakukan melalui dewan. Dewan ini dibentuk ketika Khalifah Umar bin Khattab sakit.
Dewan tersebut terdiri dari Usman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Thalhah bin Ubaidillah, Zubair bin Awwam, Abdurrahman bin Auf, dan Sa’ad bin Abi Waqqash. Abdurrahman bin Auf dipercayakan menjadi ketua panitia pemilihan tersebut.
Ada sebuah peraturan yang harus mereka patuhi, yaitu proses pemilihan harus di dasari atas prinsip syura, musyawarah dan mufakat. Apabila dalam proses pemilihan salah seorang di antara mereka mendapatkan suara terbanyak, maka dialah yang berhak diangkat menjadi khalifah.
Setelah Umar bin Khattab meninggal dunia, maka Abdurrahman bin Auf menjalankan tugasnya sebagai ketua panitia yang bertugas menyeleksi calon peserta pemilihan. Tugas pertama yang dijalankannya adalah menghubungi beberapa tokoh terkemuka dari kalangan muhajirin dan anshar yang pantas diminta pertimbangan. Kemudian menghubungi keenam calon yang telah disepakati bersama dalam dewan dan Khalifah Umar bin Khattab.
Selain menghubungi para tokoh berpengaruh, Abdurrahman bin Auf mendengarkan pendapat dari rakyat kecil, seperti para petani, pengembala, pedagang kecil dan lain-lain. Kemudian Abdurrahman bin Auf mempersiapkan proses pemilihan untuk segera dilaksanakan.
Namun, proses pemilihan yang semula diinginkan berjalan sesuai dengan harapan, menemui kesulitan, terutama dalam masalah calon peserta. Hal ini disebabkan karena :
1.      Berdasarkan pendapat umum bahwa mayoritas masyarakat menginginkan Usman bin Affan menjadi khalifah.
2.      Di kalangan sahabat yang dicalonkan timbul perbedaan pendapat. Abdurrahman lebih memilih kepada Usman bin Affan, sedangkan Sa’ad bin Abi Waqqash cenderung kepada Ali bin Abi Thallib menjadi khalifah.
3.      Di antara sahabat nabi yang dicalonkan ada yang sedang berada di luar kota, sehingga belum dapat diketahui pendapatnya.
4.      Baik Usman bin Affan maupun Ali bin Abi Thallib, masing-masing mmiliki keinginan untuk menjadi khalifah.
Setelah semua masalah di hadapi, berkat ketekunan dan kebijaksanaan Abdurrahman bin Auf, akhirnya proses pemilihan berjalan lancar dan menghasilkan keputusan yang memenangkan Usman bin Affan terpilih sebagai khalifah dengan perolehan 4 suara, sedangkan Ali bin Abi Thallib memperoleh 2 suara.
Ketika terpilih sebagai khalifah, Usman bin Affan telah berusia 70 tahun, usia yang telah matang dan penuh bijaksana. Namun, banyak para sahabatnya memanfaatkan situasi ini untuk memperoleh keuntungan. Usman bin Affan menjadi khalifah selama 12 tahun.
Sementara itu, tampilnya Ali bin Abi Thalib kepuncak pemimpin, ketika negara tengah mengalami krisis sosial dan politik, akibat peristiwa terbunuhnya Khalifah Usman bin Affan oleh para pembeerontak yang tidak setuju atas berbagai kebijakan yang dikeluarkan selama masa pemerintahannya. Dalam situasi seperti itu,  harus ada tindakan nyata untuk mengatasi krisis kepemimpinan. Akan tetapi, tidak ada seorang pun ketika itu yang mau diangkat menjadi Khalifah selagi Ali bin Abi Thalib masih hidup.
C.     BERBAGAI KEBIJAKAN PEMERINTAHAN KHULAFAUR RASYIDIN
      1. Kebijakan Khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq
            Sebagai Khalifah pertama,  Abu Bakar menghadapi persoalan politik keagamaan, terutama penentangan dari kaum murtad (kaum riddah), memberantas nabi palsu, dan mereka yang enggan membayar zakat. Untuk mengatasi hal tersebut, Khalifah Abu Bakar melakukan musyawarah dengan para sahabat, tindakan apa yang harus dilakukan. Meski terjadi perbedaan pendapat, ia tetap tegar, bahkan tegas ia mengatakan bahwa ia akan memerangi semua golongan yang menyimpang  dari kebenaran, sehingga semuanya kembali ke jalan yang benar.
            Untuk memerangi masalah ini, dibentuklah sebelas pasukan. Ada langkah strategis yang dilakukan khalifah sebelum melakukan serangan, yaitu pengiriman surat. Khalifah Abu Bakar mengirim surat kepada mereka dan mengajak untuk kembali kepada ajaran islam yang benar, sesuai dengan tuntunan Al-Qur’an dan Al-Hadis.
            Untuk mengatasi ketidakstabilan politik karena gerakan kelompok penentang tersebut, Abu Bakar menyusun kekuatan di Madinah dan membaginya menjadi sebelas batalion untuk dikirim ke berbagai daerah pemberontakan.
            Khalid bin Al-Walid merupakan salah seorang komandan yang pertama kali diperintahkan untuk memerangi thulaihah dalam peperangan Buzaka. Gerakan nabi palsu juga dapat dipatahkan oleh Khalid bin Al-Walid, setelah Ikrimah dan syurahbil gagal mengalahkan kekuatan Musailamah al-kazzab. Pasukan Musailamah dapat dipukul mundur oleh Khalid dalam pertempuran di Yamamah tahun 633 M.
            Dari empat tokoh gerakan anti Islam, dua di antaranya tewas terbunuh dalam peperangan, yaitu Aswad al-Ansi dan Musailamah al-Kazzab. Sedangkan dua tokoh lainnya, yaitu saj’ah dan thulaihah selamat dan kembali kepada ajaran Islam.
            2. Kebijakan Khalifah Umar bin Khattab
            Periode Umar bin Khattab boleh dibilang periode yang cukup aman dan tentram. Tidak banyak pemberontakan yang terjadi. Situasi ini benar-benar dimanfaatkan untuk membangun sistem pemerintahan negara, agar lebih efektif dan efisien, sehingga hasil pembangunan dapat dirasakan secara merata ke segenap masyarakat yang berada di bawah kekuasaan pemerintahan Islam.
            Ada dua arah kebijakan yang dilakukan Khalifah Umar bin Khattab. Pertama, kebijakan internal, yaitu membangun sistem pemerintahan dalam negeri dan membentuk departemen-departemen yang menangani masalah-masalah sosial politik dan sebagainya. Kedua, kebijakan eksternal, yaitu dengan usaha memperluas wilayah penyebaran Islam ke luar Jazirah Arabia.
            Pada masa pemerintahan khalifah Umar bin Khattab ditertibkan pembayaran gaji dan pajak tanah. Berkaitan dengan masalah perpajakan, Khalifah Umar bin Khattab membagi warga Negara menjadi dua bagian :
a.       Masyarakat muslim
b.      Masyarakat Non muslim (ahl al-dzimmi) atau warga non muslim yang mendapat perlindungan (suaka) Negara.
Untuk warga muslim, mereka wajib bayar zakat. Sedangkan non muslim, mereka dikenakan jizyah (pajak perorangan) dan kharraj (pajak tanah).
Untuk mencapai pemerataan dalam pembangunan, khalifah Umar bin khattab melakukan beberapa hal yaitu :
a.       Mengubah sistem sentralisasi menjadi desentralisasi.
b.      Membentuk jawatan kepolisian (diwan al-syurthah).
c.       Membentuk jawatan pekerjaan umum.
d.      Membentuk lembaga keuangan yang disebut, Baitul-mal, yang berfungsi untuk mengelola keuangan negara. Sejak masa itu, pemerintahan Khalifah Umar telah memiliki mata uang sendiri.
e.       Penetapan tahun Hijriyah sebagai tahun baru umat Islam, penetapan tahun baru ini atas inisiatif Ali bin Abi Thalib, yang kemudian direspon oleh Khalifah Umar bin Khattab.
3. Kebijakan Khalifah Usman bin Affan
            Pada paruh pertama kepemimpinannya, negara berada dalam keadaan aman, damai, tentram dan sejahtera. Karena situasinya sangat mendukung bagi usaha melanjutkan program pemerintahan yang dibuat pada masa pemerintahan Khalifah Umar bin Khattab. Tetapi, pada paruh terakhir masa pemerintahannya, terjadi krisis kepercayaan yang menimbulkan konflik berkepanjangan.
            Dalam beberapa kasus, khalifah mengambil kebijakan yang kurang populer, misalnya, mengangkat pejabat Negara, seperti Gubernur dari keluarganya sendiri.
a.       Mengangkat Marwan bin al-Hakam sebagai sekretaris negara.
b.      Al-walid bin Uqbah sebagai Gubernur Kufah, menggantikan posisi sa’ad. Al-walid bin Uqbah adalah saudaranya yang suka mabuk-mabukan.
c.       Abdullah bin Sa’ad sebagai Gubernur Mesir, menggantikan posisi Amr bin Al-ash.
Kebijakan-kebijakan Khalifah Usman yang menuai protes keras dari masyarakatnya adalah :
a.       Kebijakan satu mushaf, dan menghapus mushaf-mushaf lain yang beredar di masyarakat. Kebijakan ini sebenarnya baik, yaitu untuk menyeragamkan seluruh mushaf yang ada di tangan khalifah usman, yang sudah dibukukan sejak masa khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq.
b.      Tanah rampasan perang dibagikan, tujuan sebenarnya baik, agar tanah tersebut menjadi lebih produktif.
Tetapi karena situasinya yang tidak memungkinkan, karena tengah terjadi krisis kepercayaan dan konflik, maka situasinya menjadi berbeda. Penolakan dan demonstrasi anti Usman berujung pada peristiwa terbunuhnya khalifah oleh orang yang tak di kenal.
Kebijakan-kebijakan khalifah Usman yang bernilai positif adalah :
a.       Membangun angkatan laut, sehingga pasukan Islam dapat menyeberangi lautan dan menyebarkan agama Islam ke luar Jazirah Arabia.
b.      Membangun dan memperbaiki masjid Nabawi
c.       Membangun jalan, jembatan, dan membangun bendungan di kota Madinah agar tidak terjadi banjir ketika musim banjir tiba.
4. Kebijakan Khalifah Ali bin Abi thalib
Adapun keputusan-keputusan yang di ambil oleh khalifah Ali bin Abi Thalib adalah sebagai berikut :
a.       Khalifah Ali bin Abi Thalib menerapkan prinsip-prinsip baitul-mal dengan tepat.
b.      Memutuskan untuk  mengembalikan semua tanah yang diambil oleh Bani Umayyah ke dalam perbendaharaan negara.
c.       Menarik semua pemberian atau hibah yang tidak memiliki dasar hukum yang jelas yang diberikan khalifah Usman kepada sanak keluarga Bani Umayyah.
d.      Mengganti semua gubernur yang diangkat pada masa Usman dan tidak disukai masyarakat. Karna ia berasumsi, bahwa selain para gubernur tersebut tidak disenangi, juga mereka adalah orang yang paling bertanggung jawab atas kerusuhan yang terjadi yang menyebabkan terbunuhnya khalifah Usman bin Affan pada 12 dzulhijjah tahun 35 H.
Permintaan mengganti gubernur tersebut ditolak, sehingga timbul kerusuhan dan konflik berkepanjangan antara khalifah Ali dengan para pejabat gubernur tersebut. Penolakan ini berujung pada sebuah pertempuran di shiffin pada 38 H/ 657 M.
Pertempuran ini memperlemah kekuatan Khalifah Ali dan memperkuat posisi Muawiyah. Karena pasukan Ali terpecah menjadi dua kelompok besar, yaitu para pengikut setia Ali (kelompok syi’ah atau syiatu Ali) dan mereka yang menyatakan desersi atau keluar dari barisan Ali (kelompok Khawarij).
Penolakan juga datang dari kubu Sahabat Nabi lainnya seperti Thalhah, Zubair dan Aisyah. Keributan antara Khalifah Ali dengan Aisyah berujung pada pertempuran kecil yang dikenal dalam sejarah Islam dengan Waq’ah al-Jamal atau Perang unta.
D.    PENATAAN BIROKRASI PEMERINTAHAN
            Untuk memperlancar jalannya roda pemerintahan, Khalifah membentuk beberapa lembaga atau organisasi ketatanegaraan yang didasari atas hasil pemikiran dan ijtihad khalifah Umar bin Khattab. Organisasi-organisasi tersebut antara lain misalnya :
1.      Pembentukan lembaga politik (al-Nidham al-siyasiyah) yang meliputi :

a.       Al-khilafah, Sistem ini terkait dengan sistem pemilihan khalifah.
b.      Al-wizariyah, Para wazir atau menteri yang membantu khalifah dalam urusan pemerintahan.
c.       Al-kitabah, Sistem ini terkait dengan masalah pengangkatan seseorang untuk menjabat di sekretariat negara.

2.      Al-Nidham al-Idary, yaitu sistem pemerintahan yang berkaitan dengan tata usaha administrasi negara.
3.      Al-Nidham al-Maly, organisasi keuangan  Negara. Lembaga ini mengelola masuk keluarnya uang Negara. Untuk itu dibentuk baitul-mal.
4.      Al-Nidham al-Harby, yaitu sistem pemerintahan yang berkaitan dengan masalah ketentaraan. Organisasi ini mengurusi masalah ketentaraan, masalah gaji tentara, urusan persenjataan, pengadaan asrama-asrama dan benteng-benteng pertahanan.
5.      Al-Nidham al-Qadha’i, yaitu sistem yang berkaitan dengan masalah kehakiman, yang meliputi masalah pengadilan, pengadilan banding dan pengadilan damai.

E.     PERLUASAN WILAYAH DAN PENYEBARAN ISLAM
Pada tahun ke-12 H, Khalifah Abu Bakar mengirimkan pasukan ke Irak pada waktu itu merupakan daerah jajahan Persia  yang di bawah pimpinan Khalid bin al-Walid di bantu oleh Al-Mutsanna bin Haritsah dan Qa’da bin ‘Amr. Daerah-daerah yang ditaklukkan Khalid bin al-Walid pada waktu itu ialah Mazar, Walajah, Allis, Hirrah, Anbar, Ainut-Tamar dan Daumatul Jandal.
Khalifah Abu Bakar juga mengirimkan pasukan ke wilayah syiria dan mempercayakan kepada panglima perang Usamah bin Zaid bin Haritsah. Pasukan Usamah mulai bergerak dari negeri Qudha’ah lalu memasuki kota Abil. Dalam peperangan ini, pasukan Usamah mendapat kemenangan yang gemilang. Sehingga wilayah itu jatuh ke tangan kekuasaan Islam.
Khalifah juga mengirim pasukan ke wilayah palestina di bawah komando Amru bin Ash, ke Roma di bawah Komando Ubaidah bin Jarrah, ke Damaskus dipimpin oleh Yazid bin Muawiyah, Yordania dipimpin oleh Syurahbil bin Hasanah.
Heraclius mengirim sekitar 24.000 tentara ke daerah-daerah kekuasaannya di Syiria, Palestina, Damaskus dan sebagainya. Untuk menghadapi kekuatan besar ini, umat Islam bersatu dalam satu barisan kekuatan besar. Penyatuan ini dilakukan atas usulan yang diajukan Khalid bin Al-walid dan mendapat persetujuan Khalifah Abu Bakar.
Akhirnya kedua pasukan besar itu, yaitu pasukan Islam dan pasukan Heraclius, bertemu di salah satu tempat bernama Yarmuk, sehingga disebut peperangan Yarmuk.
Pada masa pemerintahan Khalifah Umar bin Khattab, terjadi juga usaha perluasan wilayah Islam. Usaha tersebut antara lain adalah sebagai berikut :
1.      Perluasan wilayah Islam ke Syiria dan Palestina
Sebelum masuk ke wilayah kekuasaan Islam, Syiria dan Palestina berada dalam situasi yang sangat memprihatinkan di bawah cengkraman penjajahan Byzantium, karena beberapa hal sebagai berikut :
a.       Masyarakatnya selalu dibebani dengan berbagai pungutan dan pajak yang harus mereka bayar kepada pemerintahan kekaisaran Byzantium (Romawi Timur).
b.      Dipaksa untuk mengikuti aliran agama yang tidak sepaham dengan mazhab yang dianut oleh kebanyakan masyarakat Syiria dan Palestina.
c.       Byzantium memaksa mereka mengikuti mazhab Kristen Nestroit yang menganut ajaran Trinitas, sedangkan mayoritas masyarakat syiria dan palestina menganut mazhab Jacobit yang menganut paham monofisit, yaitu percaya pada tuhan yang Esa.
Untuk melepas Syiria dan Palestina dari cengkraman penjajahan Byzantium.Pengiriman pasukan ke Syiria dan Palestina sangat diperlukan. Sehingga kedua kota tersebut dapat ditaklukkan pada masa pemerintahan Khalifah Umar bin Khattab.
Abu Ubaidah bin Jarrah mencoba menaklukkan beberapa wilayah di Syiria dan Palestina, setahun kemudian, yaitu :
a.       Pada tahun 14 H Damaskus dapat dikuasai.
b.      Pada tahun 16 H tentara Islam di bawah pimpinan Amru bin Ash dapat menaklukkan tentara romawi di Ajnadin.
c.       Pada tahun 18 H baitul maqdis dapat dikuasai, dengan jatuhnya baitul maqdis, maka seluruh wilayah syiria dan palestina berada di bawah wilayah kekuasaan Islam.

2.      Perluasan Wilayah Islam ke Irak dan Persia
Sebenarnya Irak sudah dapat dikuasai oleh tentara Islam pada masa pemerintahan Abu Bakar dan di bawah Komando Khalid bin al-walid. Akan tetapi, ketika pasukan Khalid meninggalkan Irak dan membantu pasukan Islam di Syiria, kesempatan itu dipergunakan oleh orang-orang Persia untuk mengusir umat Islam dari Irak di bawah pimpinan panglima Rustum.
Umar mengirim sa’ad bin Abi waqqash untuk menundukkan kembali Irak dan Persia. Setelah melalui peperangan dahsyat, akhirnya Irak dan Persia dapat dikuasai kembali pada tahun 21 H, dalam perang Hawand, Qadisia kemudian juga ditaklukkan. Jatuhnya Qadisia merupakan pertanda kemenangan besar bagi tentara Islam, karena kota ini merupakan pusat pertahanan terakhir tentara Yazdazird, Kisra Persia.
3.      Perluasan Wilayah Islam ke Mesir
Berbagai tekanan yang dilakukan oleh pemerintahan Byzantium kepada masyarakat Mesir, membuat mereka tidak tahan atas perlakuan semena-mena dan tidak manusiawi. Kemudian mereka meminta bantuan kepada penguasa muslim di Madinah.
Khalifah Umar bin Khattab pada tahun ke-18 H atau 639 M memerintahkan pasukan muslim yang sedang berada di Palestina untuk melanjutkan perjalanannya ke Mesir. Pasukan itu di bawah Komando Amru bin al-Ash yang memimpin 4000 tentara. Mereka memasuki wilayah mesir melalui selat Wadi al-Arish, setelah menaklukkan beberapa kota kecil, akhirnya ia menaklukkan kota Fushthat setelah mengadakan pengepungan terhadap kota tersebut selama kurang lebih 7 bulan.
Pada masa pemerintahan khalifah Usman bin Affan, terjadi pula pengembangan wilayah kekuasaan Islam. Di antaranya sebagai berikut :
a.       Perluasan Khurasan
Sa’ad bin ‘Ash bersama Huzaifah bin Yaman memimpin pasukan Islam ke Khurasan, di dalam rombongan pasukan ini ikut pula beberapa orang sahabat Nabi SAW. Yang lain. Setelah terjadi pertempuran sengit, akhirnya khurasan dapat dikuasai.
b.      Perluasan ke Armenia
Khalifah Usman bin Affan mengutus Salam Rabiah al-Bahly untuk berdakwah ke Armenia. Ia berhasil mengajak kerja sama dengan penduduk Armenia untuk menerima ajaran Islam. Namun, ia juga banyak mendapat tantangan dari mereka yang tidak suka atas dakwah Islam yang dikembangkannya , tetapi semua itu dapat diatasi dengan cara memerangi mereka hingga mereka menyatakan tunduk di bawah pemerintahan Islam.
c.       Perluasan Islam ke Afrika Utara (Tunisia)
Afrika Utara merupakan satu wilayah yang berada di bawah kekuasaan Romawi, perlakuan penjajah terhadap penduduk tidak menyenangkan, akhirnya mereka meminta bantuan kepada pemerintahan Islam di Madinah. Khalifah Usman bin Affan mengirim Abdullah bin Sa’ad bin Abi Sa’ad bin Abi Jarrah untuk memimpin pasukan menaklukkan Afrika utara dan mengusir bangsa Romawi, pasukan Islam mendapat Simpati dan dukungan yang kuat dari masyarakat setempat, sehingga bangsa Romawi dapat dikalahkan. Dengan jatuhnya wilayah Afrika Utara, berarti wilayah itu berada di bawah kekuasaan Islam.

d.      Penaklukan Ray dan Azarbeijan
Pada masa pemerintahan Khalifah Usman bin Affan, banyak di antara masyarakat Azarbeijan yang menolak membayar pajak, bahkan ada yang membangkang dan memberontak terhadap pemerintahan Islam di Madinah.
Untuk mengatasi hal itu, Usman bin Affan memerintah walid bin uqbah yang kala itu menjabat sebagai gubernur Kuffah untuk memberantas para perusuh tersebut. Walid bin uqbah mengerahkan 6000 pasukan untuk mengepung penduduk Azarbeijan dan 4000 pasukan ke Ray. Dengan kekuatan besar ini, akhirnya kedua wilayah pemberontak dapat dikuasai.
pada masa pemerintahan Ali bin Abi thalib tidak terjadi perluasan wilayah kekuasaan Islam, karena selama masa-masa pemerintahannya selalu dihadapkan pada persoalan dan konflik yang berkepanjangan hingga akhir hayatnya, khalifah Ali hanya berusaha mempertahankan wilayah kekuasaan yang ada supaya tetap utuh berada di bawah kekuasaan Islam.
Meskipun begitu, terdapat perkembangan yang cukup bagus, terutama dalam bidang ilmu bahasa dan sastra Arab. Pada masa ini muncul seorang ahli tata bahasa Arab (ilmu wahyu), yaitu Abul Aswad ad-Du’ali.














 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar