KEPEMIMPINAN
UMAT ISLAM PASCA NABI MUHAMMAD SAW
A. KONDISI
MASYARAKAT SEPENINGGAL RASULULLAH SAW.
Dalam
catatan sejarah diketahui bahwa muhammad SAW. Selain sebagai rasulullah, juga seorang pemimpin pemerintahan dan
pemimpin masyarakat. Setelah beliau wafat, fungsinya sebagai rasul tidak dapat
digantikan atau dialihkan kepada orang lain.
Namun,
sebagai kepala pemerintahan dan pemimpin masyarakat, posisi tersebut harus ada
yang menggantikan. Oleh karena itu, pasca wafatnya rasulullah saw, terjadi
kebingungan di kalangan masyarakat muslim ketika itu. Bahkan ada di antara
mereka yang tidak percaya kalau Muhammad sebagai seorang nabi utusan Allah, juga bisa wafat. Melihat
gejala seperti ini, Abu Bakar mendatangi kelompok tersebut dan langsung
berpidato. Dalam pidatonya ia mengatakan, “wahai manusia, siapa yang memuja
muhammad, sesungguhnya muhammad telah wafat, tetapi siapa yang memuja allah,
Allah hidup selama-lamanya, tidak akan pernah mati.”
Selain
itu, dalam situasi seperti ini, muncul beberapa kelompok masyarakat muslim
madinah yang tengah bermusyawarah guna menentukan siapa pengganti muhammad saw.
Sebagai pemimpin pemerintahan dan pemimpin masyarakat.
Hasil
dari perdebatan tersebut, munculah Abu Bakar Ash-Shiddiq sebagai pemimpin umat
Islam. Kemudian dilanjutkan oleh sahabat Umar bin Khattab, Usman bin
Affan, Ali bin Abi Thalib. Ke empat para
sahabat ini dalam Islam dikenal dengan sebutan Khulafaur Rasyidin, yakni para pemimpin pengganti yang mendapat
petunjuk dari Allah swt. Meskipun hanya berlangsung selama lebih kurang 30
tahun, masa pemerintahan Khulafaur
Rasyidin merupakan masa yang sangat penting dalam perjalanan sejarah umat
islam.
B. SISTEM
PEMILIHAN KHALIFAH
Persoalan
pertama yang muncul kepermukaan setelah Nabi Muhammad saw. Wafat, adalah
persoalan suksesi. Siapa yang akan menggantikan kedudukan beliau sebagai kepala
pemerintahan. Karena sebelum wafat beliau tidak pernah membicarakan atau
menunjuk siapa yang akan menjadi
penggantinya kelak. Tetapi ada satu prinsip dasar yang diajarkan Nabi saw. Dalam
bermasyarakat dan bernegara, yaitu musyawarah
atau syura, prinsip musyawarah ini
dianut oleh para sahabat, dibuktikan dari peristiwa-peristiwa yang terjadi
dalam setiap pergantian pemimpin islam, seperti Khulafaur Rasyidin.
Abu
Bakar memangku jabatan khalifah berdasarkan piliahan yang berlangsung secara
demokratis dalam pertemuan di tsaqifah
(balairung) Bani Sa’idah. Tata cara tersebut sesuai dengan sistem
perundingan yang di pergunakan pada zaman modern sekarang ini.
Perdebatan
siapa yang paling berhak menggantikan kedudukan nabi Muhammad saw. Sebagai
kepala pemerintahan, hampir menimbulkan konflik internal di kalangan umat Islam,
antara Muhajirin Anshar dan Bani Abbas. Melalui perdebatan panjang
dengan argumentasi masing-masing, akhirnya Abu Bakar disetujui secara aklamasi
menduduki jabatan khalifah.
Selesai
terpilih sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan, Abu Bakar berpidato
sebentar menguraikan apa yang akan dilakukannya kelak. pidato tersebut
menggambarkan kepribadian Abu Bakar dan kejujuran serta ketulusannya sebagai
seorang pemimpin umat yang demokratis. Proses pengangkatan ini diawali dengan
ijtihad Abu Bakar meminta Umar bin Khattab bersedia menggantikan kedudukannya
kelak, jika ia meninggal dunia.
Permintaan
ini pun di setujui oleh umar, hanya umar meminta agar persoalan ini dibicarakan
terlebih dahulu di kalangan tokoh masyarakat, supaya tidak terjadi salah paham.
Pilihan itu pun disetujui oleh pemuka masyarakat, kemudian Abu Bakar menulis
surat wasiat untuk itu dan membai’at Umar bin Khattab. Beberapa hari kemudian
Abu Bakar Ash-shiddiq meninggal dunia
peristiwa ini terjadi pada jumadil akhir
tahun 13 H/634 M.
Sedang
uman bin Affan dipilih dan diangkat oleh dewan yang terdiri dari enam orang
sahabat. Seperti ditegaskan pada bagian terdahulu bahwa proses pemilihan
khalifah setelah Umar bin Khattab berbeda dengan proses sesudahnya. Pasca
Khalifah Umar bin Khattab, pemilihan dilakukan melalui dewan. Dewan ini
dibentuk ketika Khalifah Umar bin Khattab sakit.
Dewan
tersebut terdiri dari Usman bin Affan,
Ali bin Abi Thalib, Thalhah bin Ubaidillah, Zubair bin Awwam, Abdurrahman bin
Auf, dan Sa’ad bin Abi Waqqash. Abdurrahman bin Auf dipercayakan menjadi
ketua panitia pemilihan tersebut.
Ada
sebuah peraturan yang harus mereka patuhi, yaitu proses pemilihan harus di
dasari atas prinsip syura, musyawarah dan mufakat. Apabila dalam proses
pemilihan salah seorang di antara mereka mendapatkan suara terbanyak, maka
dialah yang berhak diangkat menjadi khalifah.
Setelah
Umar bin Khattab meninggal dunia, maka Abdurrahman bin Auf menjalankan tugasnya
sebagai ketua panitia yang bertugas menyeleksi calon peserta pemilihan. Tugas
pertama yang dijalankannya adalah menghubungi beberapa tokoh terkemuka dari
kalangan muhajirin dan anshar yang pantas diminta pertimbangan. Kemudian
menghubungi keenam calon yang telah disepakati bersama dalam dewan dan Khalifah
Umar bin Khattab.
Selain
menghubungi para tokoh berpengaruh, Abdurrahman bin Auf mendengarkan pendapat
dari rakyat kecil, seperti para petani, pengembala, pedagang kecil dan
lain-lain. Kemudian Abdurrahman bin Auf mempersiapkan proses pemilihan untuk
segera dilaksanakan.
Namun,
proses pemilihan yang semula diinginkan berjalan sesuai dengan harapan, menemui
kesulitan, terutama dalam masalah calon peserta. Hal ini disebabkan karena :
1. Berdasarkan
pendapat umum bahwa mayoritas masyarakat menginginkan Usman bin Affan menjadi
khalifah.
2. Di
kalangan sahabat yang dicalonkan timbul perbedaan pendapat. Abdurrahman lebih
memilih kepada Usman bin Affan, sedangkan Sa’ad bin Abi Waqqash cenderung
kepada Ali bin Abi Thallib menjadi khalifah.
3. Di
antara sahabat nabi yang dicalonkan ada yang sedang berada di luar kota,
sehingga belum dapat diketahui pendapatnya.
4. Baik
Usman bin Affan maupun Ali bin Abi Thallib, masing-masing mmiliki keinginan
untuk menjadi khalifah.
Setelah
semua masalah di hadapi, berkat ketekunan dan kebijaksanaan Abdurrahman bin
Auf, akhirnya proses pemilihan berjalan lancar dan menghasilkan keputusan yang
memenangkan Usman bin Affan terpilih sebagai khalifah dengan perolehan 4 suara,
sedangkan Ali bin Abi Thallib memperoleh 2 suara.
Ketika
terpilih sebagai khalifah, Usman bin Affan telah berusia 70 tahun, usia yang
telah matang dan penuh bijaksana. Namun, banyak para sahabatnya memanfaatkan
situasi ini untuk memperoleh keuntungan. Usman bin Affan menjadi khalifah
selama 12 tahun.
Sementara
itu, tampilnya Ali bin Abi Thalib kepuncak pemimpin, ketika negara tengah
mengalami krisis sosial dan politik, akibat peristiwa terbunuhnya Khalifah
Usman bin Affan oleh para pembeerontak yang tidak setuju atas berbagai
kebijakan yang dikeluarkan selama masa pemerintahannya. Dalam situasi seperti
itu, harus ada tindakan nyata untuk
mengatasi krisis kepemimpinan. Akan tetapi, tidak ada seorang pun ketika itu
yang mau diangkat menjadi Khalifah selagi Ali bin Abi Thalib masih hidup.
C.
BERBAGAI KEBIJAKAN PEMERINTAHAN
KHULAFAUR RASYIDIN
1. Kebijakan Khalifah Abu Bakar
Ash-Shiddiq
Sebagai Khalifah pertama,
Abu Bakar menghadapi persoalan politik keagamaan, terutama penentangan
dari kaum murtad (kaum riddah), memberantas nabi palsu, dan mereka yang enggan
membayar zakat. Untuk mengatasi hal tersebut, Khalifah Abu Bakar melakukan
musyawarah dengan para sahabat, tindakan apa yang harus dilakukan. Meski
terjadi perbedaan pendapat, ia tetap tegar, bahkan tegas ia mengatakan bahwa ia
akan memerangi semua golongan yang menyimpang
dari kebenaran, sehingga semuanya kembali ke jalan yang benar.
Untuk memerangi masalah ini, dibentuklah sebelas pasukan.
Ada langkah strategis yang dilakukan khalifah sebelum melakukan serangan, yaitu
pengiriman surat. Khalifah Abu Bakar mengirim surat kepada mereka dan mengajak
untuk kembali kepada ajaran islam yang benar, sesuai dengan tuntunan Al-Qur’an
dan Al-Hadis.
Untuk mengatasi ketidakstabilan politik karena gerakan
kelompok penentang tersebut, Abu Bakar menyusun kekuatan di Madinah dan
membaginya menjadi sebelas batalion untuk dikirim ke berbagai daerah
pemberontakan.
Khalid bin Al-Walid
merupakan salah seorang komandan yang pertama kali diperintahkan untuk memerangi
thulaihah dalam peperangan Buzaka.
Gerakan nabi palsu juga dapat dipatahkan oleh Khalid bin Al-Walid, setelah Ikrimah dan syurahbil gagal mengalahkan kekuatan Musailamah al-kazzab. Pasukan Musailamah dapat dipukul mundur oleh
Khalid dalam pertempuran di Yamamah tahun 633 M.
Dari empat tokoh gerakan anti Islam, dua di antaranya
tewas terbunuh dalam peperangan, yaitu Aswad
al-Ansi dan Musailamah al-Kazzab.
Sedangkan dua tokoh lainnya, yaitu saj’ah
dan thulaihah selamat dan kembali
kepada ajaran Islam.
2. Kebijakan Khalifah Umar bin Khattab
Periode Umar bin Khattab boleh dibilang periode yang
cukup aman dan tentram. Tidak banyak pemberontakan yang terjadi. Situasi ini
benar-benar dimanfaatkan untuk membangun sistem pemerintahan negara, agar lebih
efektif dan efisien, sehingga hasil pembangunan dapat dirasakan secara merata
ke segenap masyarakat yang berada di bawah kekuasaan pemerintahan Islam.
Ada dua arah kebijakan yang dilakukan Khalifah Umar bin
Khattab. Pertama, kebijakan internal,
yaitu membangun sistem pemerintahan dalam negeri dan membentuk
departemen-departemen yang menangani masalah-masalah sosial politik dan
sebagainya. Kedua, kebijakan
eksternal, yaitu dengan usaha memperluas wilayah penyebaran Islam ke luar
Jazirah Arabia.
Pada masa pemerintahan khalifah Umar bin Khattab
ditertibkan pembayaran gaji dan pajak tanah. Berkaitan dengan masalah
perpajakan, Khalifah Umar bin Khattab membagi warga Negara menjadi dua bagian :
a. Masyarakat
muslim
b. Masyarakat
Non muslim (ahl al-dzimmi) atau warga non muslim yang mendapat perlindungan
(suaka) Negara.
Untuk
warga muslim, mereka wajib bayar zakat. Sedangkan non muslim, mereka dikenakan jizyah (pajak perorangan) dan kharraj (pajak tanah).
Untuk
mencapai pemerataan dalam pembangunan, khalifah Umar bin khattab melakukan
beberapa hal yaitu :
a. Mengubah
sistem sentralisasi menjadi desentralisasi.
b. Membentuk
jawatan kepolisian (diwan al-syurthah).
c. Membentuk
jawatan pekerjaan umum.
d. Membentuk
lembaga keuangan yang disebut, Baitul-mal,
yang berfungsi untuk mengelola keuangan negara. Sejak masa itu, pemerintahan
Khalifah Umar telah memiliki mata uang sendiri.
e. Penetapan
tahun Hijriyah sebagai tahun baru umat Islam, penetapan tahun baru ini atas
inisiatif Ali bin Abi Thalib, yang kemudian direspon oleh Khalifah Umar bin
Khattab.
3.
Kebijakan Khalifah Usman bin Affan
Pada paruh pertama kepemimpinannya, negara berada dalam
keadaan aman, damai, tentram dan sejahtera. Karena situasinya sangat mendukung
bagi usaha melanjutkan program pemerintahan yang dibuat pada masa pemerintahan
Khalifah Umar bin Khattab. Tetapi, pada paruh terakhir masa pemerintahannya,
terjadi krisis kepercayaan yang menimbulkan konflik berkepanjangan.
Dalam beberapa kasus, khalifah mengambil kebijakan yang
kurang populer, misalnya, mengangkat pejabat Negara, seperti Gubernur dari
keluarganya sendiri.
a. Mengangkat
Marwan bin al-Hakam sebagai sekretaris negara.
b. Al-walid
bin Uqbah sebagai Gubernur Kufah, menggantikan posisi sa’ad. Al-walid bin Uqbah
adalah saudaranya yang suka mabuk-mabukan.
c. Abdullah
bin Sa’ad sebagai Gubernur Mesir, menggantikan posisi Amr bin Al-ash.
Kebijakan-kebijakan
Khalifah Usman yang menuai protes keras dari masyarakatnya adalah :
a. Kebijakan
satu mushaf, dan menghapus mushaf-mushaf lain yang beredar di masyarakat.
Kebijakan ini sebenarnya baik, yaitu untuk menyeragamkan seluruh mushaf yang
ada di tangan khalifah usman, yang sudah dibukukan sejak masa khalifah Abu
Bakar Ash-Shiddiq.
b. Tanah
rampasan perang dibagikan, tujuan sebenarnya baik, agar tanah tersebut menjadi
lebih produktif.
Tetapi
karena situasinya yang tidak memungkinkan, karena tengah terjadi krisis
kepercayaan dan konflik, maka situasinya menjadi berbeda. Penolakan dan
demonstrasi anti Usman berujung pada peristiwa terbunuhnya khalifah oleh orang
yang tak di kenal.
Kebijakan-kebijakan
khalifah Usman yang bernilai positif adalah :
a. Membangun
angkatan laut, sehingga pasukan Islam dapat menyeberangi lautan dan menyebarkan
agama Islam ke luar Jazirah Arabia.
b. Membangun
dan memperbaiki masjid Nabawi
c. Membangun
jalan, jembatan, dan membangun bendungan di kota Madinah agar tidak terjadi
banjir ketika musim banjir tiba.
4.
Kebijakan Khalifah Ali bin Abi thalib
Adapun
keputusan-keputusan yang di ambil oleh khalifah Ali bin Abi Thalib adalah
sebagai berikut :
a. Khalifah
Ali bin Abi Thalib menerapkan prinsip-prinsip baitul-mal dengan tepat.
b. Memutuskan
untuk mengembalikan semua tanah yang
diambil oleh Bani Umayyah ke dalam perbendaharaan negara.
c. Menarik
semua pemberian atau hibah yang tidak memiliki dasar hukum yang jelas yang
diberikan khalifah Usman kepada sanak keluarga Bani Umayyah.
d. Mengganti
semua gubernur yang diangkat pada masa Usman dan tidak disukai masyarakat.
Karna ia berasumsi, bahwa selain para gubernur tersebut tidak disenangi, juga
mereka adalah orang yang paling bertanggung jawab atas kerusuhan yang terjadi
yang menyebabkan terbunuhnya khalifah Usman bin Affan pada 12 dzulhijjah tahun
35 H.
Permintaan
mengganti gubernur tersebut ditolak, sehingga timbul kerusuhan dan konflik
berkepanjangan antara khalifah Ali dengan para pejabat gubernur tersebut.
Penolakan ini berujung pada sebuah pertempuran di shiffin pada 38 H/ 657 M.
Pertempuran
ini memperlemah kekuatan Khalifah Ali dan memperkuat posisi Muawiyah. Karena
pasukan Ali terpecah menjadi dua kelompok besar, yaitu para pengikut setia Ali
(kelompok syi’ah atau syiatu Ali) dan
mereka yang menyatakan desersi atau keluar dari barisan Ali (kelompok Khawarij).
Penolakan
juga datang dari kubu Sahabat Nabi lainnya seperti Thalhah, Zubair dan Aisyah.
Keributan antara Khalifah Ali dengan Aisyah berujung pada pertempuran kecil
yang dikenal dalam sejarah Islam dengan Waq’ah
al-Jamal atau Perang unta.
D.
PENATAAN BIROKRASI PEMERINTAHAN
Untuk memperlancar jalannya roda pemerintahan, Khalifah
membentuk beberapa lembaga atau organisasi ketatanegaraan yang didasari atas
hasil pemikiran dan ijtihad khalifah Umar bin Khattab. Organisasi-organisasi
tersebut antara lain misalnya :
1. Pembentukan
lembaga politik (al-Nidham al-siyasiyah) yang meliputi :
a. Al-khilafah,
Sistem ini terkait dengan sistem pemilihan khalifah.
b. Al-wizariyah,
Para wazir atau menteri yang membantu khalifah dalam urusan pemerintahan.
c. Al-kitabah,
Sistem ini terkait dengan masalah pengangkatan seseorang untuk menjabat di sekretariat
negara.
2. Al-Nidham
al-Idary, yaitu sistem pemerintahan yang berkaitan dengan tata usaha
administrasi negara.
3. Al-Nidham
al-Maly, organisasi keuangan Negara.
Lembaga ini mengelola masuk keluarnya uang Negara. Untuk itu dibentuk
baitul-mal.
4. Al-Nidham
al-Harby, yaitu sistem pemerintahan yang berkaitan dengan masalah ketentaraan.
Organisasi ini mengurusi masalah ketentaraan, masalah gaji tentara, urusan
persenjataan, pengadaan asrama-asrama dan benteng-benteng pertahanan.
5. Al-Nidham
al-Qadha’i, yaitu sistem yang berkaitan dengan masalah kehakiman, yang meliputi
masalah pengadilan, pengadilan banding dan pengadilan damai.
E.
PERLUASAN WILAYAH DAN PENYEBARAN ISLAM
Pada
tahun ke-12 H, Khalifah Abu Bakar mengirimkan pasukan ke Irak pada waktu itu
merupakan daerah jajahan Persia yang di
bawah pimpinan Khalid bin al-Walid di bantu oleh Al-Mutsanna bin Haritsah dan
Qa’da bin ‘Amr. Daerah-daerah yang ditaklukkan Khalid bin al-Walid pada waktu
itu ialah Mazar, Walajah, Allis, Hirrah, Anbar, Ainut-Tamar dan Daumatul
Jandal.
Khalifah
Abu Bakar juga mengirimkan pasukan ke wilayah syiria dan mempercayakan kepada
panglima perang Usamah bin Zaid bin Haritsah. Pasukan Usamah mulai bergerak
dari negeri Qudha’ah lalu memasuki kota Abil. Dalam peperangan ini, pasukan
Usamah mendapat kemenangan yang gemilang. Sehingga wilayah itu jatuh ke tangan
kekuasaan Islam.
Khalifah
juga mengirim pasukan ke wilayah palestina di bawah komando Amru bin Ash, ke Roma di bawah Komando Ubaidah bin Jarrah, ke Damaskus dipimpin
oleh Yazid bin Muawiyah, Yordania dipimpin oleh Syurahbil bin Hasanah.
Heraclius
mengirim sekitar 24.000 tentara ke daerah-daerah kekuasaannya di Syiria,
Palestina, Damaskus dan sebagainya. Untuk menghadapi kekuatan besar ini, umat
Islam bersatu dalam satu barisan kekuatan besar. Penyatuan ini dilakukan atas
usulan yang diajukan Khalid bin Al-walid dan mendapat persetujuan Khalifah Abu
Bakar.
Akhirnya
kedua pasukan besar itu, yaitu pasukan Islam dan pasukan Heraclius, bertemu di
salah satu tempat bernama Yarmuk, sehingga disebut peperangan Yarmuk.
Pada
masa pemerintahan Khalifah Umar bin Khattab, terjadi juga usaha perluasan
wilayah Islam. Usaha tersebut antara lain adalah sebagai berikut :
1. Perluasan
wilayah Islam ke Syiria dan Palestina
Sebelum
masuk ke wilayah kekuasaan Islam, Syiria dan Palestina berada dalam situasi
yang sangat memprihatinkan di bawah cengkraman penjajahan Byzantium, karena
beberapa hal sebagai berikut :
a. Masyarakatnya
selalu dibebani dengan berbagai pungutan dan pajak yang harus mereka bayar
kepada pemerintahan kekaisaran Byzantium (Romawi Timur).
b. Dipaksa
untuk mengikuti aliran agama yang tidak sepaham dengan mazhab yang dianut oleh
kebanyakan masyarakat Syiria dan Palestina.
c. Byzantium
memaksa mereka mengikuti mazhab Kristen Nestroit yang menganut ajaran Trinitas,
sedangkan mayoritas masyarakat syiria dan palestina menganut mazhab Jacobit
yang menganut paham monofisit, yaitu percaya pada tuhan yang Esa.
Untuk
melepas Syiria dan Palestina dari cengkraman penjajahan Byzantium.Pengiriman
pasukan ke Syiria dan Palestina sangat diperlukan. Sehingga kedua kota tersebut
dapat ditaklukkan pada masa pemerintahan Khalifah Umar bin Khattab.
Abu
Ubaidah bin Jarrah mencoba menaklukkan beberapa wilayah di Syiria dan
Palestina, setahun kemudian, yaitu :
a. Pada
tahun 14 H Damaskus dapat dikuasai.
b. Pada
tahun 16 H tentara Islam di bawah pimpinan Amru bin Ash dapat menaklukkan
tentara romawi di Ajnadin.
c. Pada
tahun 18 H baitul maqdis dapat dikuasai, dengan jatuhnya baitul maqdis, maka
seluruh wilayah syiria dan palestina berada di bawah wilayah kekuasaan Islam.
2. Perluasan
Wilayah Islam ke Irak dan Persia
Sebenarnya
Irak sudah dapat dikuasai oleh tentara Islam pada masa pemerintahan Abu Bakar
dan di bawah Komando Khalid bin al-walid. Akan tetapi, ketika pasukan Khalid
meninggalkan Irak dan membantu pasukan Islam di Syiria, kesempatan itu
dipergunakan oleh orang-orang Persia untuk mengusir umat Islam dari Irak di
bawah pimpinan panglima Rustum.
Umar
mengirim sa’ad bin Abi waqqash untuk
menundukkan kembali Irak dan Persia. Setelah melalui peperangan dahsyat,
akhirnya Irak dan Persia dapat dikuasai kembali pada tahun 21 H, dalam perang Hawand, Qadisia kemudian juga
ditaklukkan. Jatuhnya Qadisia merupakan pertanda kemenangan besar bagi tentara
Islam, karena kota ini merupakan pusat pertahanan terakhir tentara Yazdazird,
Kisra Persia.
3. Perluasan
Wilayah Islam ke Mesir
Berbagai
tekanan yang dilakukan oleh pemerintahan Byzantium kepada masyarakat Mesir,
membuat mereka tidak tahan atas perlakuan semena-mena dan tidak manusiawi.
Kemudian mereka meminta bantuan kepada penguasa muslim di Madinah.
Khalifah
Umar bin Khattab pada tahun ke-18 H atau 639 M memerintahkan pasukan muslim
yang sedang berada di Palestina untuk melanjutkan perjalanannya ke Mesir.
Pasukan itu di bawah Komando Amru bin al-Ash yang memimpin 4000 tentara. Mereka
memasuki wilayah mesir melalui selat Wadi al-Arish, setelah menaklukkan
beberapa kota kecil, akhirnya ia menaklukkan kota Fushthat setelah mengadakan
pengepungan terhadap kota tersebut selama kurang lebih 7 bulan.
Pada
masa pemerintahan khalifah Usman bin Affan, terjadi pula pengembangan wilayah
kekuasaan Islam. Di antaranya sebagai berikut :
a. Perluasan
Khurasan
Sa’ad
bin ‘Ash bersama Huzaifah bin Yaman memimpin pasukan Islam ke Khurasan, di
dalam rombongan pasukan ini ikut pula beberapa orang sahabat Nabi SAW. Yang
lain. Setelah terjadi pertempuran sengit, akhirnya khurasan dapat dikuasai.
b. Perluasan
ke Armenia
Khalifah
Usman bin Affan mengutus Salam Rabiah al-Bahly untuk berdakwah ke Armenia. Ia
berhasil mengajak kerja sama dengan penduduk Armenia untuk menerima ajaran
Islam. Namun, ia juga banyak mendapat tantangan dari mereka yang tidak suka
atas dakwah Islam yang dikembangkannya , tetapi semua itu dapat diatasi dengan
cara memerangi mereka hingga mereka menyatakan tunduk di bawah pemerintahan
Islam.
c. Perluasan
Islam ke Afrika Utara (Tunisia)
Afrika
Utara merupakan satu wilayah yang berada di bawah kekuasaan Romawi, perlakuan
penjajah terhadap penduduk tidak menyenangkan, akhirnya mereka meminta bantuan
kepada pemerintahan Islam di Madinah. Khalifah Usman bin Affan mengirim
Abdullah bin Sa’ad bin Abi Sa’ad bin Abi Jarrah untuk memimpin pasukan
menaklukkan Afrika utara dan mengusir bangsa Romawi, pasukan Islam mendapat
Simpati dan dukungan yang kuat dari masyarakat setempat, sehingga bangsa Romawi
dapat dikalahkan. Dengan jatuhnya wilayah Afrika Utara, berarti wilayah itu
berada di bawah kekuasaan Islam.
d. Penaklukan
Ray dan Azarbeijan
Pada
masa pemerintahan Khalifah Usman bin Affan, banyak di antara masyarakat
Azarbeijan yang menolak membayar pajak, bahkan ada yang membangkang dan
memberontak terhadap pemerintahan Islam di Madinah.
Untuk
mengatasi hal itu, Usman bin Affan memerintah walid bin uqbah yang kala itu
menjabat sebagai gubernur Kuffah untuk memberantas para perusuh tersebut. Walid
bin uqbah mengerahkan 6000 pasukan untuk mengepung penduduk Azarbeijan dan 4000
pasukan ke Ray. Dengan kekuatan besar ini, akhirnya kedua wilayah pemberontak
dapat dikuasai.
pada
masa pemerintahan Ali bin Abi thalib tidak terjadi perluasan wilayah kekuasaan Islam,
karena selama masa-masa pemerintahannya selalu dihadapkan pada persoalan dan
konflik yang berkepanjangan hingga akhir hayatnya, khalifah Ali hanya berusaha
mempertahankan wilayah kekuasaan yang ada supaya tetap utuh berada di bawah
kekuasaan Islam.
Meskipun
begitu, terdapat perkembangan yang cukup bagus, terutama dalam bidang ilmu
bahasa dan sastra Arab. Pada masa ini muncul seorang ahli tata bahasa Arab
(ilmu wahyu), yaitu Abul Aswad ad-Du’ali.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar